Tugas:
ARTIKEL
Jurus Jitu Mendidik Anak
DISUSUN OLEH:
A R L I N
MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN AL-IKHLAS
AMBERI KEC. LAMBUYA KAB. KONAWE
2014
JURUS
JITU MENDIDIK ANAK
1. MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam
setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia
terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam
menjalankan pekerjaannya.
Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak
sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada
ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh
empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan
tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak
hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu
semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri
menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.
Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu
yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan,
tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak
hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Uang memang bisa membeli tempat tidur yang
mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati
untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk
menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka
terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya,
padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka
mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih
sayang!
Ilmu apa saja yang dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam
mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu
cara berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus
dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang
lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam
mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam
salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ
بِاللَّه”.
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan
jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi dan beliau
berkomentar, “Hasan sahih”.
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama
shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam
untuk para orangtua,
“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ
سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat
saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh
tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan
shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar.
Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada
orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab
terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak.
Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan
lain-lain.
Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam
mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang
anak kecil,
“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau
makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi
Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni
berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang
hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam
diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana
menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep
dasar pendidikan anak lainnya.
Ayo belajar!
Semoga pemaparan singkat di atas bisa
menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan
bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan
kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita
betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih
tua dari anaknya!
2. MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi
Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan
kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka
berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu
mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah
yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah
tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran
melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua
anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang
salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut
dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara
pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga
keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia
sekalipun.
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua!
Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya.
Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi
dampak positifnya.
Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak
Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita
yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah.
Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia
tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua.
Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa,
sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai
andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak
membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan
bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun
beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah
itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah
mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan
pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah
seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang
suka meniru!
Beberapa contoh aplikasi nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk
mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid
bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan
Anda asyik menonton televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an,
ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari
lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan
hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau
suara biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam
bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata
sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya.
Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari,
anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa
yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau
kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok,
hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah
pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah
berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih
serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut.
Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi
terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk
memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis
karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di
pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara
terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di
pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!
Sebuah renungan penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada
beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi
masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang
luar biasa untuk para orangtua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari
anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi.
Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat
hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan
waktu berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak
mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya,
sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa
yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita
terus seperti ini??
Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk
kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk
merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku
orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…
3. MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan
tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.
Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi
keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan
penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam
seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan
maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan
untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah
untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah
semata karena mengharap ridha Allah.
Apa sih kekuatan keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
- Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
2.
Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati
dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada
anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit
ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu
begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari
pagi bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang
menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekedar
meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu
hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil
mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah
payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot
kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena
kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
3.
Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah
meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih
dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa
membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan
ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan
kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan
damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati
orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang
disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang
disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
4.
Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya
memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat
manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan
anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan
kenikmatan.وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْArtinya: “Orang-orang yang beriman, beserta
anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan
mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.
Mulailah dari sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari
sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk
membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil
mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap
benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya,
suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap
makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang
mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai
penolong-penolong agama Allah.
Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang
masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat.
Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun
kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…
4. MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi
mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak
lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis
dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan
kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang
membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang
waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai
dengan harapan kita.
Contoh aplikasi kesabaran
- Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,”مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari
taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu
akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan
mengukir di atas batu.
Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun
jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.
2.
Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru
saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia
lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel
dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita
kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan anak
untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan,
merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk
menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak
mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena
dan menghidupkan jiwa.Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau
menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat
fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di
luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak
ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang
baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
3.
Sabar menjadi pendengar yang baik. Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk
bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua
lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya
serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang
sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat
pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita
merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai
dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan
omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan
ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu
kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara
dan marah pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang
anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin
keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika
anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan
akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang
sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik.
Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan
segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak
sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan
menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
4.
Sabar manakala emosi memuncak. Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau
hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita
sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti
dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya
dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari
anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa
dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni
berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai
emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik
dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman
adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke huluPepatah
Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya
lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun
tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan
menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan
manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita,
sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…
5. MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di
masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela
khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami
istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di
antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang
bapak bercerita sambil menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa
saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu
berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar,
ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang
menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air,
jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak
sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya
butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin
dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi
doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih
baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ
hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna
imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan
yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum
muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.
Seberapa besar sih kekuatan doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat,
mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala
tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah
menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa
kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun
ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala. Dengan
cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan
pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu
spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam
sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ
الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada
keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh
al-Albany.
Sejak kapan kita mendoakan anak kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri
telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
mengingatkan,
“إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ:
“بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا
رَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ”
“Jika salah seorang dari kalian sebelum
bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn
wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah
kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada
kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa
mencelakakannya”. HR. Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519)
dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan
pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah,
memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak)
yang termasuk orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.
Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ
الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan
yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.
Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun,
kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab.
Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir
misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa
tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi
tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia
menjadi anak salih.
Awas, hati-hati!
Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut
bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua.
Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik
terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda
menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam
Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya,
“Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau
sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar